Jumat, 09 Agustus 2019

Jangan Lewatkan Kursi Jaksa Agung dan Komitmen Presiden

Fachrizal Afandi
Dosen Hukum Pidana Kampus Brawijaya Malang serta PhD Candidate di Faculteit der Rechtsgeleerdheid, Universiteit Leiden

Prinsip Presiden Joko Widodo pada penegakan hukum sekarang kembali di-test kala sejumlah parpol pendukungnya mengharap jatah bangku Jaksa Agung di pemerintahan waktu depan. Pilihan Jokowi atas Jaksa Agung bakal tentukan hitam-putih proses penegakan hukum di Indonesia.
Simak Juga : arti Afiliasi

Dalam penyusunan kejaksaan pasca-reformasi, baik dalam konstitusi ataupun ketentuan lain, nampak jika urutan Jaksa Agung hakikatnya dibentuk untuk mandiri dari kebutuhan politik. Risalah sidang kajian amendemen Klausal 24 UUD 1945 mengatakan dengan jelas hasrat banyak anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tempatkan Jaksa Agung dengan mandiri jadi sisi dari kekuasaan kehakiman serta menyatakan kesertaan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam penentuan Jaksa Agung. Sayangnya, hasrat MPR ini tidak sukses ditranslate oleh pemerintah kala membuat Undang-Undang Nomer 16 Tahun 2004 terkait Kejaksaan. Menyebabkan, sampai waktu ini, prosedur penentuan Jaksa Agung masih sama sebagaimana pada periode rezim otoriter Orde Baru.

Meskipun begitu, sampai satu dekade mulai sejak Undang-Undang Kejaksaan disahkan, presiden senantiasa pilih Jaksa Agung yg tidak mempunyai afiliasi dengan parpol. Ini lalu berganti pada 2014, kala presiden pilih Jaksa Agung yg datang dari parpol pendukungnya. Perihal ini pula yg lalu jadi pembenaran jika urutan Jaksa Agung persis seperti urutan anggota kabinet, yg dapat dibagi pada partai yg berjasa meraih kemenangan calon dalam pilpres.

Dari beberapa partai, sekurang-kurangnya NasDem udah memberikan ambisinya untuk masih membela pengaruhnya di kejaksaan. Tidak hanya menyarankan Jaksa Agung waktu ini, M. Prasetyo, yg gak lain yakni kader mereka, NasDem menyarankan jaksa aktif yg mereka klaim jadi kader mereka. Klaim ini sesungguhnya aneh, lantaran jaksa jadi aparat sipil negara diharamkan mempunyai afiliasi dengan parpol. Untuk menguatkan argumentasi jika politisi resmi jadi Jaksa Agung, sejumlah pejabat NasDem menilai M. Prasetyo dengan figure legendaris Baharuddin Lopa, yang mempunyai afiliasi dengan parpol kala dipilih Presiden Abdurrahman Wahid jadi Jaksa Agung. 

Menilai Prasetyo dengan Baharuddin Lopa semestinya sangatlah tidak sesuai. Lopa diketahui jadi jaksa yg berani, jujur, serta mempunyai reliabilitas tinggi. Pada kala Orde Baru, contohnya, kala bekerja di Sulawesi Selatan, Lopa berani menyeret entrepreneur besar Tony Gozal, yg dekat sama rezim penguasa, lantaran merekayasa dana reboisasi. Lantaran tingkah lakunya ini, Lopa didemosi serta dimutasi jadi staf pakar Menteri Kehakiman. Begitupun kala memperoleh amanah jadi Jaksa Agung, Lopa kembali menggebrak dengan mendalami masalah korupsi besar yg libatkan beberapa orang penting.
Jangan Lewatkan : pengertian Obligasi

Ini semestinya tidak sama jauh dengan reputasi Prasetyo. Tidak hanya tidak ada prestasi yg mencolok saat jadi jaksa, kemampuannya jadi Jaksa Agung lantas frontal. ICW bahkan juga berikan rapor merah atas kemampuannya jadi Jaksa Agung, yg tidak memihak pada penanggulangan korupsi. Periset Australia, Thomas Power (2018) , bahkan juga mencatat kejaksaan dibawah Prasetyo udah jadi alat politik untuk memaksakan sejumlah kepala wilayah ubah ke partai tersendiri.

Jadi aparat yg patuh pada Undang-Undang Instrumen Sipil Negara, jaksa jelas tidak bisa berafiliasi dengan parpol mana lantas. Kesertaannya beresiko buat proses penegakan hukum. Ditambah lagi jaksa pula mempunyai manfaat jadi magistraat, yang wajib mempunyai independensi kala jadi dominus litis, penentu apa satu masalah pidana bisa dituntut ataukah tidak di pengadilan.

Dengan mode kejaksaan yg masih membela skema komando, urutan Jaksa Agung bertindak penting jadi pengatur semua pekerjaan serta kekuatan jaksa dalam skema peradilan pidana. Karena itu, berikan urutan Jaksa Agung pada parpol sama seperti berikan kesempatan pada mereka untuk melaksanakan interferensi pada penegakan hukum.

Prosedur penentuan Jaksa Agung tidak seperti penentuan pimpinan instansi penegak hukum lain, seperti Kepala Kepolisian RI atau pemimpin Komisi Penanggulangan Korupsi (KPK) , yang wajib libatkan banyak faksi serta melalui proses yg panjang. Undang-Undang Kejaksaan cuma mengatakan jika Jaksa Agung cukup di ambil oleh presiden. Banyak faksi mengartikannya jadi hak prerogatif presiden.

Presiden Jokowi bisa menjawab arahan penduduk sipil ihwal komitmennya pada dominasi hukum dengan mengawali perbaikan prosedur pengangkatan Jaksa Agung. Untuk dapatkan calon yg profesional serta memiliki integritas, presiden bisa mengedit ketentuan presiden terkait kejaksaan dengan menaikkan aturan perihal langkah pengangkatan Jaksa Agung lewat pembentukan klub seleksi yg mandiri serta profesional dan pelibatan instansi, seperti KPK, Komisi Kejaksaan, serta Ombudsman. Calon dapat dijaring dari tiap-tiap penduduk negara yg mempunyai reliabilitas maupun dari internal kejaksaan. Apabila ini dijalankan, Jokowi bukan hanya bakal mewariskan aturan yg mempunyai nilai masalah prosedur penentuan Jaksa Agung yg akuntabel serta profesional, namun juga jadi langkah awal dalam reformasi birokrasi kejaksaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar