Senin, 18 November 2019

Beginilah Revitalisasi Pemikiran Teologi Transformatif Moeslim Abdurrahman

Intelektual kelahiran Lamongan, 8 Agustus 1947 ini ialah Doktor antropologi dari Kampus of Illinois, Urbana AS. Moeslim terlahir dari keluarga petani Muhammadiyah. Sesudah lulus dari sekolah rakyat pada pertengahan tahun 60-an, Dia berubah menjadi santri di Pesantren Raudhatul ‘Ilmiyyah Kertosono, Jawa Timur. Pesantren yang diasuh oleh Kyai Salim Akhyar yang disebut murid generasi pertama Kyai Hasyim Asy’ari pendiri Nahdlatul Ulama’. Lalu ia meneruskan studinya di fakultas tarbiyah Institut Agama Islam Muhammadiyah Surakarta.
Simak Juga : teks biografi

Pada tahun 2000 ia menggapai gelar Ph. D dalam analisis antropologi Kampus of Illinois, Urbana AS dengan disertasinya yang berjudul On Hajj Tourism : In Search of Pity and Identity in The New Order Indonesia. Gelar doktornya di bagian antropologi mepengaruhi pendekatan-pendekatannya pada studi keagamaan yang lebih antropologis serta memanfaatkan teori-teori sosial urgent. Perihal ini membuat membentuk watak pemikirannya yang lebih transformatif.

Beberapa buku yang dia tuliskan udah diberitakan ialah : Menerjemahkan Islam dalam Adat serta Kesulitan Umat (Surakarta : UMS, 1990) , Kang Thowil serta Siti Marginal (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1995) , Islam Transformatif (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1996) , Meriah Islam Meriah Demokrasi (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1997) , Islam jadi Masukan sosial (Jakarta : Erlangga, 2003) , Islam Yang Berpihak (Yogyakarta : LkiS, 2005) . Tulisan-tulisan Moeslim yang udah diberitakan itu berikan suatu pandangan berpihaknya pada kelompok mustadh’afin yang diterapkan dengan keaktifannya di LSM ( Instansi Swadaya Orang) . Pada tahun 2012 beliau dirawat di rumah sakit Dr. Cipto Mangunkusumo dipicu sakit jatung serta tutup usianya di umur 64 tahun. Biografi ini Penulis temukan dari beberapa karya beliau.

***
Pikiran Moeslim Abdurahman ini tidak pertama kali yang keluar di di dunia Islam. Pada masa awalnya Islam udah dikenalkan oleh pikiran cendikiawan seperti Hassan Hanafi dengan Al Yasar Al Islami, Asghar Ali Engineer serta Farid Esack dengan Teologi pembebasan. Teologi Transformatif pada intinya tidak jauh berbeda dengan pemikiran-pemikiran beberapa tokoh itu, namun ada sejumlah ketidaksamaan dari diskursus perihal penindasan serta kemiskinan.

Baca Tjokroaminoto : Misionaris Sosialisme Islam
Menurut Hassan hanafi, salah satunya pekerjaan Al Yasar Al Islami (kiri Islam) ialah melepaskan Palestina dari zionisme. Asghar Ali Engineer mengakibatkan teologi pembebasan di Amerika Latin. Pada kala itu berlangsung penindasan dan pergerakan repreisif dari penguasa serta pemerintahan oligarki yang berikan kehidupan sengsara pada rakyat serta Teologi pembebasan Farid Esack keluar di Afrika sebab perjuangannya dalam melepaskan orang dari metode apartheid. Di Indonesia, Moeslim mengenalkan teologi transformatif atas fundamen memandang fakta kehidupan yang berbeda.

Moeslim Abdurrahman jadi salah seseorang perintis terpentingnya mengatakan kalau Islam transformatif adalah Islam praksis sosial, dimana agama dialih bahasa dalam berpihaknya pada kelompok miskin. Dalam refleksi Moeslim, kebanyakan umat Islam kerap memperlakukan agama jadi instansi yang mengendalikan tata teknik dedikasi pada Tuhan, sampai-sampai nilai beribadah yang paling tinggi dalam kacamata umat ialah disaat mereka lakukan ritualitas dengan cara mendalam dengan aturan-aturan baku yang udah diputuskan. Di sini, menurut Moeslim, agama tidak jadikan jadi kapabilitas pendorong buat lakukan kebajikan sosial, malahan berkesan dijauhkan dari masalah sosial.

***
Moeslim menyebutkan kalau doktrin Islam mesti dialih bahasa ke beberapa ide yang tidak cuma bercorak intelektualistik yang mungkin tidak bisa menumbuhkan atau menggugah kesadaran kolektif orang dalam lakukan pergantian sosial. Hal semacam itu bisa diakibatkan ketidak pekaan beberapa gagasan cendekiawan pada fakta hegemonik, yang menyebabkan kalau akan terbalik dengan utopian emansipasi di tingkat utamanya transformasi sosial. Lantaran, inspirasi Islam yang bikin cerah tidak selama-lamanya berikan dampak proses pemerdekaan serta pembebasan, kalaupun hal semacam itu tidak lahir proses dari masukan ideologis-transformatif.

Menurut Moeslim, satu bahaya bila “reintelektualisasi” Islam yang bikin cerah, yang berikan keluasan memikir tapi tidak dengan kepedulian buat memihak dengan cara autentik perjuangkan pendagogis kemanusiaan. Gosip itu disinggung oleh Moeslim dipicu tersedianya masalah pluralisme, multikulturalisme, kebebasan memikir serta perlindungan pada hak-hak ketidaksamaan pada jatidiri cuma berubah menjadi pembicaraan. Bila gosip itu tidak dikasih rekomendasi dari konstruk sosialnya, karena itu pandangan Islam yang spekulatif tekstual condong tidak memiliki dialektika kepekaan pada soal opresi atau eksploitasi. Karena itu hubungan dengan maksud pergantian sosial yang lebih adil akan terabaikan.
Artikel Terkait : cara menggabungkan file PDF offline

Baca Pengajian SATV serta Muhammadiyah
Transformasi memang jalan yang paling manusiawi buat membuat perubahan mengubah riwayat kehidupan umat manusia. Lantaran dalam proses ini yang berlaku ialah pendampingan bukan pengarahan ditambah lagi pemaksaan. Transformasi pada prinsipnya ialah pergerakan kultural yang didasarkan pada liberalisasi, humanisasi serta transendensi yang punya sifat profetik yaitu pengubahan riwayat kehidupan orang oleh orang sendiri mengarah yang lebih partisipatif, terbuka serta emansiparotis.

***
Satu dambaan yang melambangkan perjunjungan tinggi harkat serta harga kemanusiaan, kepercayaan orang dihargai serta ketidaksamaan masukan berubah menjadi adat. Buat meraih keadaan sejenis itu mesti diakui memang tidak ringan. Tapi mesti ada yang mengawali. Ialah barang siapa yang dalam pandangan hidupnya merasakan perduli pada ketimpangan sosial jadi kendala iman bersama-sama.

Demikian kuatnya tujuan emansipasi sosial dari teologi transformatif, menurut Moeslim inspirasi ini ingin menemukannya buah pikiran Tuhan kembali dengan cara partisipatoris dalam pergumulan umat manusia yang waktu ini alami proses dehumanisasi lewat refleksi teologis yang bersumber dari riwayat perjuangan kehidupan keseharian. Pandangan teologis Islam harus ditempatkan pada penumbuhan kesadaran kolektif lewat apa yang dimaksud counter hegemony (hegemoni tandingan) menentang penindasan dalam rekan susunan kekuasaan. Sebab itu, reintelektualisasi tidak bisa dipisah dari kerja praksis sosial, sampai-sampai interaksi di antara berpikir serta ortopraksis berubah menjadi satu kesatuan, sama juga dengan teks serta riwayat yang mengintarinya. Dari hal itu karena itu transformatif dimaksutkan buat tahu bagaimana umat mengerti proses sosial yang berlangsung dilapisan orang lewat penemuan buah pikiran Tuhan yang masih tersimpan dalam kalam- Nya. Lewat wawasan akan firman Allah maka dapat diketemukan suatu terobosan buat keluarkan Umat dari belenggu ketertindasan dalam kemiskinan serta kebodohan.

Oleh karena itu, dambaan Islam transformatif Moerslim Abdurrahman mestinya direalisasikan dengan terobosan-terobosan paling baru baik dalam soal kemiskinan atau kebodohan. Kelanjutannnya, Islam transformatif Moeslim Abdurrahman searah dengan dambaan bangsa Indonesia dalam sila ke-5 pancasila ialah “Keadilan Sosial Untuk Seluruhnya Rakyat Indonesia”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar