Kamis, 28 November 2019

Beginilah Diskusi Biografi Penciptaan 4 Festival Teater Jakarta 2019

Diskusi Biografi Penciptaan kembali diadakan dengan mendatangkan lima group peserta Festival Teater Jakarta (FTJ) 2019. Ke lima group itu merupakan Teater Camuss, Golongan Sudut, Teater amatirujan, Unlogic Theatre serta Sanggar Teater Jerit.

Diskusi yang memiliki tujuan membuka “dapur produksi” ini terjadi di Lobby Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Rabu (27/11) sore. Dimoderatori Raqil Biru Solihin, Ketua Ikatan Teater Jakarta Timur (Ikatamur) , diskusi berjalan cukup alot.

Ke lima sutradara datang jadi perwakilan semasing group untuk memaparkan ide serta inspirasi pertunjukannya.

Ke lima sutradara itu, ialah Reza Ghazali (Teater Camuss) , Iqbal (Golongan Sudut) , Dediesputra Siregar (Teater amatirujan) , Dina CF (Unlogic Theatre) serta Choki Lumban Gaol (Sanggar Teater Jerit) .

Naskah Di ambil Aktor
Reza Ghazali dalam pembahasannya menyampaikan, naskah “Mak Comblang” yang dipentaskan pada Jumat (22/11) malam di ambil sebab adalah kemauan beberapa aktornya yang umumnya masih terhitung muda.

Oleh karena itu, naskah ini di ambil dengan mengedepankan kerja kolektif di antara sutradara serta pemain. Dengan itu, pemain miliki tanggung jawab besar dalam mainkan moment di atas panggung.

Dalam pembacaannya, Reza lakukan kupasan pada banyak rujukan, baik dalam atau luar negeri, naskah asli atau translate-nya, untuk memandang batas serta sisi pandang buat pemanggungannya.

Dari data-data serta pembacaan tersebut dia dekati pemanggungan karya Nikolai Gogol ini dengan style humor satir yang pada masa 1950-an demikian tenar, baik di dunia teater atau film.

Penentuan naskah ini, kata Reza, bukan tidak dengan muatan ideologis khusus. Dia memandang ada ketaksamaan metode perkawinan di Indonesia dengan di Eropa secara umum.

Melalui naskah ini, dia ingin hembuskan suatu masalah fundamental jika di Indonesia, metode perkawinan masih demikian terikat, misalnya tidak cuma oleh agama, namun juga oleh adat-istiadat.

Banyak orang-orang yang tak mau kawin sebab halangan-halangan itu, atau mereka sendiri takut hadapi kondisi sulit yang menunggu mereka di muka mata sehabis menikah.

Masalah pilihan artistik, Reza melukiskan rumah Akhmad jadi rumah yang kecil, tidak serupa dengan rumah Ambarita yang luas.

Dipan tempat Akhmad tidur lantas dibikin lebih kasar (dibuat dari bambu) untuk melukiskan situasi ketidaknyamanan hidupnya yang gagap hadapi kelajangannya yang panjang.

Dalam soal pendekatan keaktoran, Reza mendorong beberapa aktornya agar bisa kunyah teks hingga kelihatan lebih luwes serta mendapatkan sifat mereka. Sebab kesulitannya merupakan bagaimana membunyikan teks dengan umur pemain yang masih terhitung muda.

Lalu Karta Wijaya, sutradara Labo eL Aktor, mempersoalkan keterlibatan di antara judul dengan badan atraksi “Mak Comblang”. Menurut dia, penekanan judul dalam atraksi belum seutuhnya tersampaikan.

Karena, pada ghalibnya, termin ‘mak comblang’ dalam kebiasaan Jawa punya kandungan nilai yang kuat. Tetapi dalam atraksi Teater Camuss, bagian itu tak didatangkan.

Reza menimpali, bukan masalah warisan budaya yang pengin dirayakan dalam acara itu, tapi metode perkawinannya yang pengin dikatakan.

Tapi Afrizal Malna, Ketua Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta selanjutnya menandaskan, Teater Camuss meskipun tampak baik dalam penggalian data-data, tetapi masih lupa jika naskah “Marriage” karya Gogol sesungguhnya udah punyai masalah.
Simak Juga : teks biografi

Lantaran itu, dalam penyajiannya butuh pikirkan kerangka dimana atraksi, apa pengin ikuti latar humor awal Gogol, atau ingin membawanya ke kerangka Indonesia, untuk mengomentari Soekarno pada waktu dulu, semisalnya.

Berkembang 50 Prosen Lebih
Sutradara Golongan Sudut Iqbal dalam peluang itu juga menuturkan ide serta inspirasi karyanya “Pada Satu Hari” karya Arifin C. Noer.

Dia bercerita, penentuan naskah itu berasal dari ketetapan asosiasi teater Jakarta Selatan yang menghendaki peserta FTJ mainkan naskah Rawayan terbitan DKJ.

Mengingat korelasi pemilihan naskah dengan skedul perlombaan di daerah Jaksel, Golongan Sudut kelanjutannnya cuma berproses sepanjang dua bulan. Sebulan pertama dihabiskan untuk analisa, serta bulan seterusnya latihan.

Dalam pembacaan pada naskah ini, Iqbal mendapatkan jika nyatanya Arifin menulis naskah ini menurut pengalaman pribadinya yang ingin bercerai dengan istrinya.

Inspirasi atraksi yang dibawa Golongan Sudut dalam lakon ini, kata Iqbal, yaitu untuk mempertunjukkan jika keluarga yang baik itu tak terus-terusan hidup dalam keselarasan, kedamaian serta kebahagiaan.

Karena keluarga yang penuh dengan perselisihan serta permasalahan, tapi sanggup menuntaskannya secara baik, itu pun adalah keluarga yang baik sekarang ini.
Artikel Terkait : struktur teks biografi

Afrizal mengaku, jika group teater yang berdiri pada tahun 2010 ini alami kemajuan 50 prosen dari acara awal di fase penyisihan. Serta ini jadi hal yang gak tersangka.

Namun, yang belum disentuh oleh golongan teater yang udah menghasilkan 24 karya sepanjang 9 tahun ini merupakan jika perselisihan saat Nyonya Wenas merasa si Kakek jadi ‘anjing’ yang bernama Bison.

Demikian juga dengan nilai waktu yang begitu panjang dipakai untuk mempertunjukkan keceriaan serta lawakan beberapa anak dari orang-tua mereka yang ingin cerai dalam rumah si Kakek serta Nenek.

Soroti Desas-desus Feminisme
Selain itu, sutradara Unlogic Theatre Dina Febriana menyampaikan, dalam penggarapan naskah “Mesin Hamlet” karya Heiner Muller, dia membaca berulangkali serta berdiskusi dengan beberapa rekan mengenai naskah itu.

Kelanjutannnya, dia memberikan batas penafsiran dengan membawa desas-desus feminisme dalam kerangka yang lebih dekat sama kondisi modern di Indonesia. Menurut dia, wanita sering jadikan alat politik serta kekuasaan.

dengan menarik batas itu, karena itu atraksi ini jadi benar-benar baru. Ophelia yang didatangkan bukan Ophelia masalalu, tapi ophelia-ophelia masakini sebagai ‘tumbal’ atau ‘korban’ dari rekan kuasa serta seksualitas.

Dina menerangkan, ada banyak pergantian serta peningkatan dalam atraksi ini, dimulai dari fase penyisihan di Jakarta Pusat hingga sampai fase final sekarang, kata Dina.

Untuk mempertebal bahasa atraksi, pemeranan dilaksanakan dengan menarasikan pengalaman-pengalaman pelecehan serta kekerasan seksual yang sesungguhnya adalah pengalaman beberapa aktornya sendiri.

Pengalaman yang tidak serupa oleh enam aktornya dideskripsikan dengan style pengutaraan yang tidak serupa ; ada yang marah-marah, santai, serta ada juga cuma mainkan teater gambar serta visualisasi.

Lagi, Afrizal menilainya pekerjaan sutradara Unlogic Theatre adalah yang terbaik antara grup-grup peserta lainnya, terpenting dari penyajian sinopsis karya, yang dengannya bisa bisa dibaca atraksi seperti apa yang bakal dintonton.

Tapi ada banyak catatan yang dilemparkan penulis buku “Teater Kedua” (2019) itu. Misalnya masalah pemanfaatan arti “dunia tidak dengan ibu”. Menurut Afrizal, termin ibu serta wanita, sebagai acuan tafsir karya ini, pada intinya tidak serupa.

Wanita pada waktu perang jadikan alat propaganda, umpamanya yang berlangsung pada perempuan-perempuan Jepang pada waktu Perang Dunia II.

Merupakan baik kalau memang Unlogic Theatre menentukan mendalami pelecehan pada wanita melalui biografi,  seperti yang sudah pernah dilaksanakan Masa Teater dari Makassar dalam Djakarta Teater Basis 2019 saat kemarin.

Namun jadi catatan, jika pada titik itu, aktor tak mainkan kejadiannya, tetapi cuma menarasikan saja. Oleh karena itu jadi tak hidup.

Afrizal menilainya, atraksi “Mesin Hamlet” masih begitu tebal. Hal mana diperlihatkan dengan penampilan pakaian yang sangat mungkin badan aktor serta narasinya jadi tertutup.

Dalam tata pencahayaan, lampunya masih begitu tebal, hingga apa yang pengin dikatakan belum terwujud. Belum juga dengan penampilan aktor yang seksi dapat mengaburkan beberapa pesan yang dikatakan.

Lalu Karta Wijaya lantas menilainya, atraksi Unlogic Theatre belum merefleksikan judul tersebut. Lantaran itu, mungkin yang butuh dieksplorasi merupakan representasi badan wanita jadi ‘mesin’ dalam kerangka feminisme.

Menyikapi penilaian itu, Dina menyampaikan, sesungguhnya dalam sehari-harinya hidup kita wanita memang kerap jadikan ‘mesin’ oleh laki laki atau suami, dalam ranah mana saja, baik dalam rumah atau di ruang-ruang yang lain.

Pemanfaatan Simbol-Simbol
Sutradara Teater amatirujan Dediesputra Siregar dalam diskusi itu juga menuturkan, banyak rujukan yang dibacanya dalam mendalami naskah “Kursi-Kursi” Ionesco.

Sehabis memperoleh rangkuman, berbarengan anggota group mereka lakukan kemah teater, yang diawali ketika fase penyisihan di Jakarta Utara. Pada sesi itu, mereka menjiwai serta meresapi moment dari atraksi.

Lantaran itu, dalam penyajiannya, dia lebih mengedepankan pemanfaatan simbol-simbol. Semisalnya ikon ke-4 pintu yang bergerak, jendela melalui bunyi, air laut berwujud musik, lentera, serta kursi-kursi tersebut.

Biarpun begitu, menurut Afrizal, sutradara Teater amatirujan begitu mengedepankan penyajian yang dengan estetik adalah seni rupa, hingga mungkin membunuh teks.

Dalam peluang diskusi datang pun sutradara Sanggar Teater Jerit Choki Lumban Gaol yang bakal mementaskan “Macbeth” malam hari, Rabu (27/11) .

Dalam pembahasannya, Choki menyampaikan, pertunjukannya tahun ini lebih adalah project eksperimentasi untuk keluar dari zone nyaman sehabis dua beberapa tahun berturutan memainkan peran dengan aktor yang sama.

Memanfaatkan latar Eropa zaman XI, atraksi “Macbeth”, sang sutradara coba mengimplementasikan sistim baru untuk mengubah pola berpikir beberapa aktornya.

Diluar itu, group juara FTJ tahun 2018 kesempatan ini berusaha supaya beberapa aktornya lebih disiplin dalam memanfaatkan tiap-tiap kata. Karena, kata yang satu berkaitan dalam kata seterusnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar