Senin, 08 Juli 2019

Beginilah Tanggapan Peneliti Terkait Kontroversi Said AqiL

Pidato Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj sebagai pro-kontra dalam Harlah Muslimat NU, Minggu (27/1/2019) dianggap karena dominannya pernyataan atau slogan internal unik NU dalam kerangka pidatonya.

Ini diterangkan oleh pengamat bahasa dari Kampus Negeri Semarang (Unnes) Anugerah Petuguran pada Usaha, Selasa (29/1/2019) .

Dosen yang teratur berubah menjadi kolumnis rubrik bahasa pelbagai mass media ini memperjelas, kutipan pidato Said Aqil di Gelanggang olahraga Bung Karno yang menyebutkan “Imam masjid, banyak khatib, KUA-KUA mesti dari NU. Kalaupun bukan NU salah semua, ” serta “Nanti banyak bidah kelak, kalaupun kecuali NU. Ini bidah ini, tari-tari sufi bidah ini. ” jelas berubah menjadi polemis jika terpisahkan dengan teks lain yang mengikuti.

" Mengakibatkan, kutipan itu seakan-akan berarti bila tempat itu diisi oleh orang kecuali NU itu bermakna salah, " kata Anugerah.
Baca Juga : teks prosedur kompleks

Meskipun sebenarnya menurut Anugerah, kutipan pada kalimat pertama tak dapat terpisahkan dengan kalimat yang mengikutinya. Karena, satu pidato pada intinya adalah satu wawasan utuh yang antarbagiannya sama-sama terjalin, baik objek ataupun gramatikalnya.

Oleh karenanya, jika dua kalimat itu ditautkan, arti kalimat pertama berubah menjadi tidak serupa. Anugerah memiliki pendapat, arti yang pingin dinyatakan oleh Said Aqil sebetulnya pandangan umum NU yang sejauh ini condong toleransi dengan pelbagai ekspresi keagamaan.

“Tampaknya beliau pingin menjelaskan, bila tempat itu diisi oleh kecuali NU, beberapa pihak yang isi tempat itu dapat menuding faksi lain, sampai-sampai pelbagai aktivitas keagamaan dianggap salah. Terhitung tari sufi, ” susulnya.

Penulis buku Politik Bahasa Penguasa ini menguraikan, tujuan satu teks tetap dikontrol oleh aspek internal teks ataupun aspek eksternalnya. Dalam perkara itu, aspek internal terkait dengan jalinan sisi teks dengan teks lain yang menyalip serta menyertainya. Dalam pengetahuan bahasa, tanda-tanda itu dimaksud koteks (co-text) .

“Baik berbentuk tulisan ataupun lisan, satu kalimat tetap terjalin dengan preteks serta posteksnya. Kalaupun ingin mendalami tujuan tuturan keseluruhan, ke-2 hal demikian tak bisa dilewatkan, ” susulnya.

Meskipun begitu, Anugerah menilai Said Aqil karena sering memanfaatkan slogan internal unik NU sewaktu mengemukakan arahan di ruang terbuka. Slogan internal rata-rata punyai arti detail lantaran berkembang serta dimengerti di komune yang homogen. Sewaktu slogan internal dikatakan pada publik yang lebih beraneka ditambah lagi mass media, tujuannya condong lain.

Anugerah memberi contoh, dalam komunitas Nahdliyin, Said Aqil sempat membuat lawakan dengan menyebutkan jenggot kurangi kercerdasan. Sewaktu dikatakan di lingkungan homogen, Nahdliyin yang memang sukai bercanda dapat memahaminya jadi komedi. Tetapi sewaktu pengakuan itu direproduksi pada media, kerangka humornya hilang.

Anugerah menilainya, satu teks lazimnya terdiri dalam tiga lapis arti, ialah arti referensial, sosial, serta afektif. Sampai-sampai, untuk mendalami teks keseluruhannya, makna-makna itu mesti jadi perhatian.
Simak Juga : contoh teks prosedur kompleks

Karena tersebut dalam soal mendalami pidato Said Aqil, orang ada baiknya melihat serta coba mendalami " guyonan ala NU " yang kerap dilepaskannya.

“Kalau ingin mendalami teks keseluruhannya, lapis-lapis arti itu mesti jadi perhatian. Arti yang sejauh ini diperdebatkan merupakan arti referensial yang miliki sifat permukaan. Meskipun sebenarnya, dibalik arti itu rata-rata ada arti lain yang lebih signifikan, ” tutup Anugerah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar